Duduk di bangku SD Nur Alam kecil punya hobby memetik kelapa bersama kakak-kakaknya. Selain kelapa, ia jug sering ikut memetik buah kemiri dari kebun milik ayahnya untuk dijual kepasar. Dari sini, ia memperoleh uang receh untuk jajan, juga kadang buat mentraktir teman-temannya.
Nur Alam kecil mulai meretas kehidupan yang penuh dinamika ketika masuk SMP, tepatnya di SMP Negeri Ranomeeto. Selama setahun, nyaris setiap hari ia harus bolak balik berjalan kaki 5 km bersama anak-anak lainnya menempuh rute bolak balik Konda – Ranomeeto. Ia harus bangun subuh setiap harinya untuk mengejar waktu ke-sekolah. Berangkat ke sekolah pukul 5 subuh, suasana pedalaman ketika itu tentunya masih sangat gelap. Tapi ia tetap menembus dengan obor kecil.
Memasuki bangku kelas II, Nur Alam pindah ke SMP Negeri III Wua-Wua dan tinggal di rumah pamannya di Mandonga. Tinggal di sekitar pasar ‘lama’ Mandonga, Nur Alam kecil punya ide menarik. Sambil bersekolah, ia sewaktu-waktu pulang ke Konda memetik kelapa, kemiri dan hasil kebun lainnya untuk dibawa dan dijual kepasar. Dari sini, ia mendapatkan sedikit uang buat membiayai kebutuhan sekolah dan sebagiannya buat jajan di kantin sekolah.
Duduk di bangku SMP Nur Alam kecil mulai menunjukkan banyak talenta. Ia menjadi juara lomba pidato dan oleh gurunya ia ditunjuk mewakili SMP Negerri III Wua-wua untuk mengikuti lomba kepanduan (pramuka) tingkat Nasional di Cibubur, Jakarta. Sayang sekali, baru saja hendak merangkai talenta kepemimpinan di jalur kepanduan itu, Nur Alam kecil harus menerima nasib sedih. Ia ditinggal pergi sang ayah ketika masih berada di bumi perkemahan Cibubur. Beberapa hari kemudian ia kembali ke Kendari dalam status sudah yatim.
Tahun 1981 Nur Alam masuk SMA Mandonga. Di sekolah yang tergolong keren di Kendari saat itu, ia banyak bertemu teman baru, termasuk siswa-siswa tetangga di SMEA dan STM Negeri Kendari. Sebagai anak yatim yang telah ditinggal pergi sang ayah, ia mulai memikirkan kelanjutan sekolahnya nanti. Ia tak harus menambah beban ibundanya yang memang tengah hidup susah karena hanya mengandalkan gaji pensiun mendiang suaminya. “Saya harus belajar bisnis. Mama juga sudah setengah mati. Saya tidak boleh berhenti sampai SMA”, kenang Nur Alam saaat berkisah tentang masa-masa SMA-nya. Ia lalu merintis usaha sablon kecil-kecilan. H. Nusu Ibrahim, salah seorang rekan Nur Alam di SMA Mandonga ketika itu pernah bercerita bahwa dulunya, i Bolo (Nur Alam maksudnya), punya usaha sablon. Ia kadang tidak masuk disekolah gara-gara sibuk mencari order di luar. Ia biasa mengerjakan undangan pesta, daftar gaji di kantor-kantor dan juga kartu-kartu KRS di kampus Unhalu kemaraya. “Kalo dapat sedikit untung, dia suka traktir kita di kantin SMEA..”, kenang H. Nusu yang sekarang menjadi anggota DPRD di Konawe.
Dari hasil usaha sablon kecil-kecilan, Nur Alam bisa memupuk modal dan membeli mesin fotocopy offset. Usaha percetakan offset ini mulai ditekuninya saat memasuki bangku kelas dua. Meski tetap mengikuti jadwal pelajaran di kelas seperti siswa lain, ia semakin sibuk mengurusi orderan di luar. Berbeda dengan banyak rekannya yang lebih senang hura-hura, Nur Alam ketika itu lebih banyak mencurahkan waktunya mengurus bisnis percetakan di luar jam sekolah. Ini terus dilakukannya hingga naik kelas tiga dan akhirnya tamat SMA Mandonga, lalu lanjut ke universitas Haluoleo di fakultas Ekonomi.
Memasuki jenjang kuliah, naluri bisnis Nur Alam semakin tumbuh. Ia mulai belajar kerja-kerja memborong sebagai kontraktor di PT. Pertiwi Agung pimpinan Umar Saranani. Di perusahaan ini, ia sering ditugaskan ke lapangan mengawasi pekerjaan proyek. Seorang rekan kerjanya, Abu, pernah bercerita bahwa sewaktu kerja di Pertiwi Agung, Nur Alam sering dipercaya pak Umar Saranani untuk membayar gaji karyawan, sambil mengawasi bahan-bahan proyek di lapangan. Lama bekerja di perusahaan ini, Nur Alam lalu pindah bekerja di PT. Timbel Mas milik pengusaha Khairuddin Pondiu. Bakat bisnisnya semakin terlihat. Ia banyak membantu Khairuddin Pondiu menyiapkan administrasi perusahaan dan kelengkapan tender. Sibuk bekerja mengurusi proyek, ia tetap mengikuti kuliah di Fekon Unhalu seperti biasa.
Mendapat sedikit pengalaman jasa kontruksi di dua perusahaan tadi, secara diam-diam Nur Alam membuat perusahaan sendiri. Bersama kerabat dekatnya, Afiat Tawakkal, ia mendirikan PT. Tamalakindo Puri Perkasa, perusahaan yang dikemudian hari sukses menjadikannya pengusaha handal. Setelah menyelesaikan studi di Fekon Unhalu, berkantor di sebuah rumah kontrakan di BTN DPR Wua-Wua, Nur Alam mulai merambah dunia kontraktor. Ia mulai gencar melakukan loby-loby ke berbagai instansi pemerintah, termasuk di kampus Unhalu baru, Anduonohu. Memasuki tahun 1990-an, PT. Tamalakindi Puri Perkasa mulai dipercaya mengerjakan proyek-proyek kontraktual di Diknas Sultra, di Unhalu dan di bebarapa kantor pemerintah lainnya.
Waktu terus bergulir, talenta Nur Alam di dunia bisnis semakin bersinar, terutama setelah menggandengnya dengan dunia politik. Bersamaan dengan karir politiknya yang terus menanjak di PAN Sultra, ia mulai berkenal dengan beberapa elit pimpinan PAN di tingkat pusat. Tak main-main, ia mengakrabkan diri dengan Amin Rais (Ketua MPR-RI/Ketua DPP PAN), Hatta Rajasa (Sekjen PAN, Menteri Perhubungan), Bambang Soedibyo (Menteri Diknas), Yahya Muhaimin, Malik Fajar (Menteri Agama) dan sejumlah petinggi PAN lainnya di era presiden Gus Dur hingga SBY. Dari sini, ia mulai merambah proyek-proyek besar berskala nasional di beberapa daerah di Indonesia, hingga, konon, ditahun 1998-an saja, isi rekeningnya sudah mencapai angka milyaran rupiah. Pada tahun 2002, terkait dengan rencananya maju dalam suksesi Bupati di Konawe ketika itu, Nur Alam pernah memperlihatkan kepada saya sertifikat deposito atas nama dirinya senilai 7 Milyar. Saya sedikit terperanjat. “Ternyata benar isu selama ini, Nur Alam punya banyak duit’, bisik hati saya. Dan, “Itu baru satu lembar yus, masih ada beberapa lembar didalam..”, tambahnya, seolah berusaha meyakinkan saya yang ketika itu masih meragukannya.
Sebelumnya, bersamaan dengan karir bisnisnya yang terus menanjak, kiprahnya di dunia organisasi juga terus bersinar. Di beberapa organisasi profesi, ia dipercaya memimpin Gapensi (Gabungan Pengusaha Konstruksi) dan Kadinda (Kamar Dagang dan Industri Daerah). Selain itu, ia juga aktif di HIPMI, Ardin dan berbagai organisasi sosial lainnya. Setelah terpilih menjadi wakil ketua DPRD Sultra, ia dipercaya mengetuai KONI, organisasi olah raga prestisius yang biasanya dijabat oleh para pejabat penting di daerah. Karir organisasinya yang paling cemerlang tentu saja di Partai Amanat Nasional. Di Partai inilah, karir dirinya sebagai politisi terus menjulang, hingga akhirnya sukses mengantar dirinya menjadi gubernur orang nomor satu di Sultra.
Perjalanan Menuju 01 Sultra
Beberapa hari setelah Mendagri melantik Nur Alam menjadi Gubernur Sultra, Kendari Pos, harian terbesar di Sultra, melakukan wawancara exclusive dengan Nur Alam. Banyak pertanyaan penting yang diajukan wartawan Kendari Pos ketika itu untuk menggali informasi diseputar sepak terjang Nur Alam dalam meraih obsesi besarnya menjadi orang nomor satu di Sultra. Dan seperti biasa, Nur Alam menjawab pertanyaan wartawan satu per satu dengan lugas, cerdas dan sistematis. Salah satu pertanyaan pokok yang dijawabnya waktu itu adalah terkait dengan kunci sukses yang menjadi rahasia kemenangannya dalam pemilukada Sultra yang baru saja berlangsung. Dikatakan oleh Nur Alam, seperti dilansir pada salah satu edisi Kendari Pos yang terbit sekitar akhir bulan Februari 2008, yang menjadi kunci sukses utamanya hingga berhasil meraih tahta Gubernur Sultra, sesungguhnya adalah kerja keras, kerja ikhlas, kerja cerdas dan kerja tuntas. Dikatakannya : “Di Sultra yang terbatas media informasi dan komunikasi, kerja keras yang harus dilakukan adalah melakukan sillaturrahmi dari desa ke desa dalam kurun waktu yang cukup panjang. Saya mengunjungi kurang lebih 2.000 Desa. Sebanyak 70% desa tersebar di pedalaman atau pelosok yang sulit dijangkau. Tidak semua Desa bisa dilalui dengan kendaraan bermotor. Bahkan kadang-kadang saya berjalan kaki, naik kuda atau naik perahu kecil. Bayangkan saja, saya mengunjungi sebuah pulau yang membelah Laut Banda dengan ombak besar. Dan itu tingkat kesulitannya tinggi. Untuk itu dibutuhkan keseriusan dan kenekatan. Kerja keras itu tentu tidak akan berjalan dengan baik jika saya melakukannya dengan tidak ikhlas. Adalah manusiawi bila seseorang seperti saya punya obsesi dan ambisi. Ambisi dan obsesi itu bisa tercapai dan bisa saja tidak. Karena itu, perlu dilandasi dengan keikhlasan. Selain kerja keras, kerja ikhlas, juga harus cerdas melihat peluang-peluang yang bersifat internal dan eksternal. Terakhir, dalam bekerja harus tuntas. Saya tidak boleh berhenti atau menyerah menghadapi tantangan dan kesulitan..”.
‘Kerja dan terus bekerja’ adalah shortcut utama dari keseluruhan menu keberhasilan Nur Alam yang terekam dalam petikan hasil wawancara di atas. Sebuah perjalanan yang penuh liku, penuh duri, dan penuh keringat bercucuran di darat dan di lautan, telah membentang cukup panjang di pelupuk mata Nur Alam sebelum akhirnya bisa melenggang ke kursi gubernur secara elegan dan bermartabat. Inilah yang membuat dirinya tak bisa menahan isak tangis ketika di sore hari menjelang magrib pada hari ‘H’ pemungutan suara, Jaringan Survey Indonesia (JSI) pimpinan Mas Widy, memberinya informasi dini bahwa dirinya menang satu putaran atas pasangan calon gubernur lainnya. Meski belum ada pengumuman resmi dari KPU Sultra, tapi informasi dari JSI itu membuatnya yakin bahwa apa yang diperjuangkannya selama ini, selama bertahun-tahun, telah dikabulkan oleh Allah SWT. Di sore hari itu, ia pun menangis tersedu-sedu bak anak kecil di tengah para pengikutnya yang ikut menetaskan air mata. Sebuah perjuangan yang cukup panjang, telah mulai berbuah manis di pelupuk mata. Demikianlah, seperti sekilas tergambar pada lukisan peristiwa berikut ini.
Sehari setelah Ali Mazi, SH dilantik sebagai Gubernur Sultra menggantikan Laode Kaimoeddin pada awal tahun 2003, Nur Alam memilih berangkat ke Jakarta. Sambil beristrahat dan menangani beberapa urusan bisnis yang sempat terbengkalai akibat terlalu lama concern mengurusi demo-demo anti money politic yang diduga dilakukan oleh Ali Mazi dalam pemilihan gubernur di DPRD Sultra, Nur Alam secara diam-diam mendatangi sebuah toko digital printing di Jakarta. Di tempat itu ia ternyata sedang meminta dibuatkan sebuah Baliho kecil berukuran 80 x 100 cm yang bergambar foto dirinya. “Tulis dibawah foto itu, Nur Alam – Gubernur Sulawesi Tenggara Periode 2008 – 2013..”, pintanya pada designer grafis yang duduk menghadap computer di toko itu.
Beberapa hari berikutnya, Nur Alam kembali ke Kendari dengan membawa gulungan Baliho kecil tadi. Baliho itu lalu dipajangnya di belakang kursi biro di ruang kerja rumah pribadinya di Wua-Wua. Setelah itu, perlahan Ia mundur ke belakang dan duduk termenung seorang diri di atas kursi sofa sambil menatap dalam-dalam foto dirinya di atas kanvas Baliho tadi. Tak terkira air matanya menitik. “Ya Allah, kabulkanlah…”, bisiknya dalam hati terhenyuh setelah beberapa menit terbuai di dalam mimpi yang besar untuk menjadi orang nomor satu di Sultra. Sesaat berlalu, konsentrasinya buyar setelah ibu Tina, istrinya, tiba-tiba muncul dengan sejemput tawa kecil yang bernada sinis : “Hah, apa-apaan tuh pa’. Duuuh, papa ini ada-ada saja. Ali Mazi kan baru saja dilantik..”. Nur Alam tak meladeni sinisme itu, selain dengan senyum yang mengulum pahit. “Tak ada yang mustahil kalau`Allah menghendaki ma’, cetusnya ringan sambil berlalu keluar kamar.
Salah satu watak dasar Nur Alam dalam meraih sesuatu obsesi atau keinginan adalah bahwa ia takkan pernah mundur sejengkalpun dalam mengejarnya, sampai obsesi itu diketahuinya telah berhasil atau, sebelaiknya, telah gagal dicapainya. Seperti kata pepatah “Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai”, Nur Alam tak pernah mundur di tengah jalan bila telah menancapkan tekad untuk berjalan. Dalam bahasa Islam, watak seperti ini disebut oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an : ‘Faidzaa azamta, fatawakkal ‘alallah’, bila telah menetapkan sesuatu, maka berserah dirilah kepada Allah’. Demikianlah, ketika telah terlanjur menetapkan niat dalam hati untuk menjadi gubernur, Nur Alam tak pernah berhenti berhayal dan berfikir. Siang malam ia menghadirkan mimpi sedang berada di atas singgasana gubernur itu di pelupuk matanya. Dan ia tak pernah merasa risih ketika seringkali disindir oleh rekan-rekannya yang sempat melihat baliho kecil di kamar kerja pribadinya. “Biarlah kalian mengejekku, tapi saya tidak akan berhenti..”, bisiknya dalam hati acap kali melihat rekan-rekannya saling mengedipkan mata usai membaca sebaris kalimat di baliho kecil tadi.
Waktu terus berjalan, hingga pada suatu waktu di tahun 2004, atau sekitar 3 (tiga) tahun menjelang pelaksanaan Pilkada langsung pertama gubernur Sultra, dalam sebuah diskusi kecil di rumah pribadinya di Wua-Wua, Nur Alam sempat bergumam di depan saya dan beberapa teman lain yang kebetulan secara tak sengaja datang bersamaan ke ruang tamu bagian belakang untuk sekedar bersillaturrahmi : “Yus, saya mau maju menjadi calon gubernur. Saya sudah siap. Dan oya, dukunglah saya Yus, karena saya sudah melihat tanda-tanda bahwa saya akan menang..”. Kata-kata itu diucapkannya rileks dalam posisi berdiri dengan mengenakan celana puntung. Jujur, kata-kata itu tak menarik bagi saya. Karena, waktu itu, saya tak melihat peluang yang cukup mungkin bagi seorang yang masih terlalu hijau seperti Nur Alam untuk bisa menjadi gubernur, apalagi harus melawan calon incumbent sekuat Ali Mazi. Sementara, waktu itu, Nur Alam hanya menyandang jabatan Wakil Ketua DPRD Sultra. Setahun sebelumnya, di tempat yang sama, Nur Alam juga pernah mencoba melontarkan gagasan untuk ikut maju dalam Pilkada Konawe tahun 2003 pasca Razak Porosi. Mendengar gagasan itu, perasaan yang sama juga terbetik di benak saya : “Nur Alam belum saatnya menjadi Bupati”. Meski, dalam kesempatan lain di waktu itu, Nur Alam sendiri yang tiba-tiba menyatakan mundur (tidak ikut bertarung) sembari berbisik ke telinga saya : “ah, tidak jadi yus. Mending kita berangkat haji …”. Waktu itu kebetulan saya dan beliau telah mendaftar haji bersamaan, meski kemudian tidak berada dalam Kloter (kelompok terbang) yang sama.
Sepulang dari haji, niat Nur Alam untuk maju mencalonkan diri sebagai gubernur semakin bulat. Terutama atas dukungan moral dari Amin Rais dan Hatta Rajasa, ia pun mulai mengambil langkah-langkah kongkrit. Setelah mendapat restu dari pak Andry Djufry, paman dari Istrinya yang telah dianggapnya orang tua sendiri, dan setelah berdiskusi panjang dengan rekan-rekannya di PAN Sultra, termasuk dengan Arbab Paproeka, Sukarman.AK, H. Rahman Saleh, Umar Samiun, Nur Amin dan lain-lain, Nur Alam berangkat menemui Hatta Rajasa (Menteri Perhubungan RI) di Jakarta. Hatta Rajasa lalu mempertemukan Nur Alam dengan mas Widhy di JSI (jaringan survey Indonesia) untuk memperoleh masukan-masukan teknis terkait bagaimana memulai dan memenangkan pertarungan. Dari sini, Nur Alam mulai mencetak berbagai alat peraga kampanye, termasuk Baliho, Sticker tempel, leaflet, spanduk dan lain-lain, lalu memboyongnya pulang ke Kendari untuk memulai gerakan penggalangan. Berikut ini adalah sekilas cerita dibalik usaha keras Nur Alam untuk memenangkan Pemilukada Sultra sepanjang tahun 2006 – 2008.
Perjalanan hidup yang luar biasa,,5 tahun kedepan sultra masih dipimpinya mudah mudahan bisa menjadikan daerah kita lebih baik lagi
ReplyDeleteAmin... Siapapun pemimpinnya, semoga akan baik ^_^
ReplyDelete